bis kota PPD (pengangkutan penumpang djakarta) tinjauan sejarah transportasi angkutan darat di DKI jakarta
M. Halwi Dahlan
Selama ini kita tidak mengetahui apakah kepanjangan PPD itu, bahkan sampai dengan ditulisnya laporan ini, sebagian masyarakat Jakarta yang saban hari menggunakan sarana transportasi ini tidak mengetahui apa kepanjangan PPD itu, apalagi mengetahui sejarah keberadaan sarana transportasi umum ini. Padahal cikal bakal beroperasinya angkutan bis kota (sebutan umum masyarakat bagi sarana transportasi dalam kota Jakarta) ini berasal dari tahun 1920an Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran analisis tentang awal kehadiran sampai menjadi PPD, pada bab ini akan diuraikan persub bab tentang pengoperasian bis kota PPD ini.
Sejarah Transportasi Angkutan Darat di Jakarta
Masa Penjajahan
Pada tahun 1925 Walikota Batavia yang dijabat oleh Ir. Voorneman mengeluarkan usul agar masalah angkutan tram dalam kota yang saat itu dilaksanakan oleh Nederlandsch Indische Tram Maatshappij (Maskapai Tran Hindia Belanda) dan Bataviach Elektrische Tram Maatschappij (Maskapai Tram Listrik Kota Batavia), agar bergabung sebagai satu perusahaan yang bergerak di bidang transportasi darat dalam kota Batavia. Namun baru lima tahun kemudian usul tersebut terealisasi yaitu bergabungnya dua perusahaan angkutan darat (NITM dan BETM) menjadi sebuah perusahaan (NV) bernama Bataviasche Verkeers Maatschappij (Maskapai Lintas Kota Batavia) atau yang disingkat dengan BVMNV (Profil Perusahaan,2002:2). Berdirinya BVMNV ditetapkan melalui akte notaris Meester Andrian Hendrik van Ophuijsen tahun 1930 (Ibid).
Beroperasinya dua buah perusahaan angkutan darat di Batavia pada 1920 yang kemudian bergabung pada tahun 1930, menunjukkan kota Batavia pada masa itu telah berkembang sebagai kota besar. Penyediaan sarana transportasi ini menunjukkan mobilitas peralihan masyarakat Batavia di dalam kota cukup padat. Ini dibuktikan dengan berdirinya 2 buah perusahaan angkutan kota sejenis kereta yang beroperasi di atas rel yang disebut tram.
Perkembangan kota Batavia pada kurun waktu 1900-an seperti digambarkan pada peta Batavia setelah Tahun 1900 dalam Babad Tanah Betawi (Ridwan Saidi,2003) sudah meluas sampai ke wilayah Jatinegara yaitu daerah di sebelah Selatan Sungai Ciliwung. Dalam peta tersebut terlihat jelas jalan-jalan yang dibangun membentang dari Utara ke Selatan menyusuri alur Sungai Ciliwung. Bandingkan dengan keadaan Batavia pada tahun 1650, dimana pusat kota hanyalah berupa areal yang dibatasi dengan dinding yang merupakan benteng dan parit-parit.
Berkembangnya kota Batavia pada awal abad 20 menuntut penyediaan sarana transportasi untuk perkotaan guna memenuhi tuntutan mobilisasi masyarakat kota Batavia. Oleh karena itu berdirilah perusahaan-perusahaan yang mengelola sarana tersebut seperti NITM dan BETM. Kedua perusahaan ini mengoperasikan tram/trem yaitu semacam kereta listrik yang berjalan di atas rel yang digunakan dalam kota.
NITM adalah perusahaan yang mengurusi angkutan darat jenis tram dan Bis-Bis (prahoto) untuk seluruh Hindia Belanda (seperti Perum Damri, sekarang), sedangkan khusus untuk dalam kota Batavia pengelolaannya dilakukan oleh BETM tetapi hanya khusus tram saja. Selama penelitian ini belum ditemukan data/riwayat dari kedua perusahaan tersebut demikian pula tidak diperoleh informasi lengkap tentang upaya penggabungan kedua perusahaan tersebut, sehingga dengan sendirinya muncul pertanyaan yang belum bisa di jawab seperti; Apa yang terjadi di dalam tubuh NITM dan BETM baik segi manajemen, SDM, sarana angkutan, posisi untung-rugi perusahaan, bahkan jadwal rutinitas pengoperasian keduanya, ataukah ada alasan lain sehingga kedua perusahaan angkutan darat ini digabungkan. Dengan terpaksa tidak dapat ditampilkan dalam laporan penelitian ini.
Tahun 1942 terjadi peralihan penguasa atas Hindia Belanda yaitu dari kolonial Belanda ke imperialis Jepang melalui penyerahan tanpa syarat. Berkuasanya Jepang menuntut diberlakukannya perubahan-perubahan dari tubuh pemerintahan sampai perusahaan-perusahaan di berbagai sektor. BVMNV sebagai induk perusahaan transportasi angkutan darat (Bis, dan trem) juga turut mengalami perubahan mulai dari pergantian nama menjadi Djakarta Shiden sampai kemudian digabungkan dengan perkeretaapian (Staat Spoor) dengan nama Seibu Riyuku Sokyaku. Penggunaan nama Djakarta menggantikan nama Batavia masih terkait dengan upaya militer Jepang untuk menarik simpati rakyat di bawah simbol Gerakan 3A.
Bis-Bis (prahoto) bekas BVMNV digunakan oleh tentara Jepang sebagai sarana angkutan pasukan dan perbekalan tempur untuk menunjang perluasan wilayah serta untuk mobilitas pertahanan. Sementara itu Djakarta Shiden hanya menjadi perusahaan yang mengoperasikan tram kota Djakarta saja. Perusahaan Djakarta Shiden beoperasi hingga tanggal 20 Agustus 1945.
Masa Mempertahankan Proklamasi
Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan, beberapa pegawai Djakarta Shiden bersama beberapa anggota Pemuda Menteng 31 mendesak penguasa Jepang di Djakarta agar segera menyerahkan tram kepada mereka. Terhadap desakan ini, Jepang kemudian menyerahkan tram kota kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Agustus 1945. Pengelolaan tram kota Djakarta ini kemudian berada di bawah Djawatan Kereta Api bagian Tram.
Dua tahun kemudian, tepatnya setelah Belanda melakukan agresi militer I kepada Republik Indonesia (1 Juli 1947) dan Djakarta berhasil mereka kuasai, tram kota dikembalikan pengelolaannya kepada Bataviasche Verkeers Maatchappij (BVMNV). Nama BVMNV ini digunakan sampai tanggal 12 Juni 1954.
Menjadi PPD
Tanggal 17 Agustus 1950 ketika Republik Indonesia Serikat kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia, kembali terjadi perubahan di seluruh aspek pemerintahan dan organisasi pelayanan masyarakat. Perubahan ini bertujuan memperkokoh kedaulatan Republik Indonesia sebagai bangsa mandiri dan mempunyai hak yang sama dengan bangsa lain di dunia, apalagi Indonesia telah menjadi anggota PBB yang ke 60 pada tanggal 28 September 1950, dimana PBB adalah suatu organisasi bagi bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Di sektor transportasi angkutan darat, juga terjadi perubahan. BVMNV warisan kolonialis Belanda setelah agresi pertama dan keduanya, diambil alih oleh pemerintah RI untuk dinasionalkan dan berada di bawah Kementerian Perhubungan. Pengalihan ini tertuang dalam Undang-Undang Darurat No. 10 tahun 1954.
Tanggal 28 April 1954 dilakukan konfrensi 5 negara yaitu Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Sri Langka di Colombo ibukota Sri Langka. Tujuan konferensi ini adalah membicarakan tentang pemerliharaan perdamain dalam rangka mencegah terulangnya penjajahan atas bangsa oleh bangsa lainnya. Melihat kesungguhan dan keaktifan Indonesia untuk memelihara perdamaian, Australia sebagai negara tetangga memberikan bantuan kendaraan angkutan umum sejenis Bis bertenaga disel yang disebut “Leiland”.
Dengan adanya bantuan bis ini, Presiden Soekarno pada tahun 1960 mengeluarkan perintah agar armada tram dihapuskan di Djakarta dan di ganti dengan Bis yang melayani angkutan penumpang dalam kota. PT. PPD kemudian dijadikan sebagai suatu perusahaan yang khusus mengoperasikani angkutan Bis kota.
Sejarah PPD
Tahun 1961 PPD mengalami perubahan nama badan hukum yaitu dari Perseroan Terbatas (PT) dirubah menjadi Perusahaan Negara (PN) sehingga selengkapnya menjadi PN. PPD. Peristiwa ini terjadi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 tanggal 30 April 1960 tentang Perusahaan Negara.
Perseroan Terbatas sebagai nama badan hukum PPD disandang selama ± 7 tahun, karena pada tahun 1961 nama Perseroan Terbatas itu berubah menjadi Perusahaan Negara. Perubahan ini mengacu pada di bentuknya perusahaan-perusahaan yang dikelola negara sesuai dengan Undang-Undang No.19 tahun 1960 tertanggal 30 April 1960 tentang Perusahaan Negara. Perusahaan Negara (PN) PPD resmi disandang sejak tanggal 29 Juni 1961 melalui Peraturan Pemerintah No. 205 tahun 1961. PN. PPD tetap berada di Kementrian Perhubungan Darat bersama dengan Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata.
Pengelolaan PN. PPD oleh pemerintah pusat hanya berlangsung selama 2 bulan, karena terhitung sejak tanggal 1 September 1961 PN. PPD diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Propinsi DKI Djakarta. Penyerahan ini dilakukan setelah pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 229 tertanggal 20 september 1961 yang secara umum menyebut bahwa PPD adalah sebuah PN yang menyelenggarakan pengangkutan penumpang untuk umum dengan kendaraan bermotor khusus dalam wilayah daerah swatantra sewajarnya dikuasai, diasuh, dan dibimbing oleh pemerintah daerah setempat.
Tahun 1969 pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 1961 tentang dibentuknya Badan Usaha Milik Negara dalam 3 bentuk yaitu Perusahaan Djawatan (Perjan), Perusahaan Negara (PN, dan Perseroan Terbatas (Persero). PP ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No.9 tahun 1969.
Status PN yang disandang PPD menjadi dilematis, sebab sesuai dengan UU No. 9 tahun 1969 seharusnya perusahaan ini berada dibawah pengelolaan pemerintah pusat, sedangkan pada saat itu PN. PPD telah diserahkan kepada pemerintah DKI Djakarta sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 229 tertanggal 20 september 1961. Akhirnya setelah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1981, PN. PPD kembali berada di bawah pengelolaan pemerintah pusat yaitu di Departemen Perhubungan.
Setelah berada di lingkungan Departemen Perhubungan, PN. PPD kembali mengalami perubahan nama badan hukum yaitu menjadi Perusahaan Umum yang disingkat Perum setelah diterbitkannya PP No. 24 tahun 1981. Dua tahun kemudian pemerintah kembali mengeluarkan PP No. 3 tahun 1983 tentang Tatacara Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum, dan Persero.
Tahun 1984 khusus untuk PPD pemerintah mengeluarkan PP No. 32 tahun 1984 yang merupakan pengukuhan status nama badan hukum Perusahaan Umum bagi transportasi darat ini. Penyempurnaan peraturan pemerintah terus dilakukan. Tahun 1998 pemerintah mengeluarkan PP No. 13 tahun 1998 yang mengatur tentang status nama badan hukum suatu perusahaan khususnya yang berbentuk Perusahaan Umum. Akhirnya pemerintah mengeluarkan PP No. 91 tahun 2000 tentang Perum PPD yang diundangkan pada tanggal 16 Oktober 2000 dan termuat dalam Lembaran Negara RI tahun 2000 Nomor 180.
Sebagai perusahaan milik negara, maka Perum PPD berada di bawah pembinaan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan secara teknis seperti pengurusan trayek atau lintas, PPD termasuk seluruh jenis armada angkutan kota lainnya berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Aset
Setelah dikeluarkannya PP No. 32 tahun 1984 yang kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Perhububungan No. KM.262/AJ.004.Phb-84 tanggal 31 Desember 1984, pemerintah melakukan penggabungan 7 unit usaha angkutan darat swasta sejenis kepada PPD. Penggabungan ini diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1985 yang dimaksudkan untuk menyatukan pengelolaan perusahaan transportasi khusus angkutan darat di bawah satu nama badan hukum yaitu Perum PPD yang dikelola pemerintah pusat dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN), disamping untuk memudahkan pembinaan dan pengembangan perusahaan. Ke- 7 unit usaha angkutan sawasta yang digabungkan tersebut adalah PT. Ajiwirya, PT. Djakarta Transport, PT. Medal Sekarwangi, PT. Merantama, PT. S.M.S, PT. Gamadi, dan PT. Pelita Mas Jaya. Penggabungan ini dilaksanakan pada 1 Januari 1986 yang dikukuhkan dengan PP No. 39 tahun 1986 yang menyebut bahwa seluruh kekayaan negara yang berasal dari unit-unit bis kota swasta diserahkan kepada Perum PPD sebagai tambahan penyertaan modal pemerintah. Ketujuhnya adalah perusahaan transportasi angkutan darat yang beroperasi di kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Berikut tabel aset Perum PPD setelah dilakukan penggabungan :
Tabel 1
ASET PERUM PPD
No. Kondisi Armada Perum ppd Eks. Swasta Jumlah
1 . Siap Guna Operasi (SGO) 788 598 1.386
2. Siap Operasi (SO) 602 509 1.111
3. SDM 8.257 8.332 16.589
4. Rasio Pegawai terhadap SGO 10,4:1 13,9:1 11,9:1
Sumber : Profil Perusahaan.
Status : Januari 1985, setelah penggabungan
Dari tabel di atas terlihat suatu formasi jumlah yang sangat mengkuatirkan antara jumlah armada (2.497 buah) dengan jumlah SDM (16.589) yang menghasilkan perbandingan satu armada menghidupi lebih dari sebelas karyawan yang sebenarnya untuk sebuah perusahaan merupakan suatu hal yang merugikan, meskipun tujuannya untuk membantu pemerintah mengatasi permasalahan pengangguran. Sebab untuk menggaji para karyawan bergantung kepada beroperasinya armada-armada tersebut.
Setelah delapanbelas tahun kemudian (dari 1985 ke 2003) aset armada Perum PPD semakin menyusut menjadi hanya 750 Bis, tetapi memiliki aset lain seperti tanah seluas 722,292 M2 yang saat ini digunakan sebagai depo (Pool) maupun bengkel. Adapun perincian aset dan peruntukannya seperti pada tabel berikut :
Tabel 2
ASET PERUM PPD
Status : Tahun 2003
No Depo Lokasi Luas (m2) Daya Tampung Bis Jumlah Bis
1. A Ciputat 67,875 400 44
2. B,T & UPU. 1 Cililitan 70,811 500 253
3. C Cakung 98,000 220 64
4. D Kedaung 80,000 220 53
5. E Pulogadung 7,344 80 41
6. F Klender 17,860 120 53
7. G Cawang 9,251 100 50
8. H Kramat Jati 51,000 220 44
9. K Daan Mogot 19,366 60 30
10. L Jelambar 12,335 80 18
11. M Cakung 12,000 80 36
12. N Depok 7,000 80 33
13. P Tangerang 3,371 40 10
14. Bengkel Pusat Narogong 120,750 - -
15.Kntr Pusat & WisataHalim 20,331 50 21
16. Wisma Mega Mendung 2,950 - -
17.Tanah Depok 141 - -
18.Tanah Depok 186 - -
19.Tanah Ciracas 53,187 - -
20.Tanah Kalideres 63,050 - -
Jumlah 712,292 2,200 750
Sumber : Brosur Perum PPD.
Depo adalah suatu tempat yang digunakan untuk pemeliharaan dan pengoperasian bis yang lokasinya disesuaikan dengan pelayanan trayek yang dilalui. Oleh karena itu depo Perum PPD tersebar di seluruh wilayah Jakarta,. Bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Sedangkan bengkel pusat mempunyai fungsi sebagai tempat pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan bis yang rusak sedang dan berat serta tempat komponen suku cadang. Namun mengingat kondisi perusahaan yang kurang produktif (hasil yang dicapai dari pengoperasian armada tidak memenuhi standar minimal keuntungan perusahaan) akhirnya perawatan dilakukan dengan cara menukar onderdil antara bis yang satu dengan yang lainnya. “hal ini sudah biasa, di perusahaan lain juga begitu…” Kata Bapak Safrudin Dahlan Kepala Divisi Hukum Perum PPD (wawancara tanggal 22 September 2003). Keterangan ini menggambarkan kondisi umum perusahaan angkutan darat yang dikelola oleh pemerintah pusat seperti Damri dan PPD, pemda maupun pihak swasta yang kurang baik akibat ketidakseimbangan antara pemasukan dengan biaya perawatan kendaraan sehingga tukar-menukar komponen menjadi hal yang biasa.
Aset armada Bis Perum PPD pada tahun 2003 sebanyak 750 difungsikan melayani penumpang yang terbagi dalam 4 jenis yaitu Bis Regular sebanyak 311, Bis Patas 157, Bis Patas AC 261, dan Bis Wisata sebanyak 21 unit.
Bis-Bis ini dikemudikan oleh 1.607 supir, didampingi 942 kondektur. Sedangkan di bengkel tempat perawatan, bis PPD ditangani oleh 1.108 teknisi dan di perkantoran terdapat 1.672 staf/adm. Sehingga total SDM Perum PPD sejumlah 5.419 orang. Suatu jumlah yang tetap fenomenal sebab menampilkan perbandingan yang menyolok antara sumber pendapatan yaitu pengoperasian armada dengan jumlah SDM menjadi 7,2:1. Meskipun menurut angka perbandingan terjadi penurunan dibanding pada tahun 1985 (11,9:1), namun 1 buah bis PPD menghidupi lebih dari 7 orang dengan berbagai posisi/jabatan masih merupakan suatu hal yang mengenaskan. Maka wajarlah jika sebagian Bis PPD beroperasi apa adanya seperti tampilan bentuk yang kumuh, suara mesin menderu berat, dan demo karyawan menuntut kesejahteraan. Meskipun saban hari sang bis selalu miring ke kiri. Tampaknya perbandingan ideal untuk SDM dengan armada dalah 3 : 1. Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan menejemenkah yang tidak mampu mengembangkan perusahaan, atau pemerintah pusat yang menjadi penanggungjawab hidup matinya PPD. Padahal misi PPD sesuai PP No. 32 tahun 1984 adalah menyediakan pelayanan umum, sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, menjadi harapan yang masih jauh untuk dicapai.
Tarif dan Trayek
Pengoperasian bis PPD juga bergantung kepada jumlah tarif yang dikenakan kepada penumpang. Tarif ini diberlakukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan untuk mencegah keluarnya tarif semena-mena dari suatu perusahaan angkutan. Sepanjang 15 tahun (1985-1990) Bis PPD serta bis kota lainnya di Jakarta telah mengalami beberapa kali kenaikan tarif yang disesuaikan dengan jenis penumpang serta ketentuan Departemen Perhubungan. Penumpang bus biasa (ekonomi) yang terdiri dari penumpang umum dan mahasiswa atau pelajar masing-masing telah mengalami 6 dan 4 kali kenaikan tarif. Sementara bis non ekonomi jenis Patas Non AC dan Patas AC keduanya telah mengalami kenaikan tarif sebanyak 7 kali. Gambaran kenaikan tarif bis kota dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3
PERKEMBANGAN TARIF BIS KOTA DI DKI JAKARTA
No
Tahun
Ekonomi (Rp)
Non Ekonomi (Rp)
Bus Biasa
Patas
Patas
AC
Pen. Umum
Pen. Mhs/Pljr
1
1985-1987
150
50
250
0
2
1998
150
50
350
0
3
1989
200
100
350
750
4
1990
200
100
450
750
5
1991
250
100
500
1000
6
1992
250
100
500
1200
7
1993-1995
250
100
550
1300
8
1996-1997
300
100
700
1800
9
1998-1999
300
100
700
2300
10
2000
500
200
700
2500
11
2001
700
300
900
3300
12
2002
900
500
1200
3300
Sumber : Profil Perusahaan
Meskipun kenaikan tarif terus dilakukan pemerintah secara bertahap namun kenaikan tersebut ternyata tidak dapat menyelesaikan kesenjangan antara operasi armada dan beban yang dialami perusahaan. Gambaran kenaikan tarif yang ditetapkan pemerintah terutama tarif ekonomi masih dianggap oleh pihak manajemen Perum PPD berada di bawah harga pokok penumpang, akibatnya Perum PPD mengalami kerugian setiap tahun (Profil Perusahaan). Keluhan menejemen ini akhirnya mendapat bukti yaitu terjadinya demonstrasi karyawan PPD akibat gaji mereka terlambat di berikan. Seperti yang terjadi pada bulan Februari sampai Mei 2003 yang memuncak pada Oktober 2003.
Dilain pihak, pemerintah memberlakukan kenaikan tarif yang menyebabkan kerugian tersebut menggunakan alasan sosial yaitu bahwa PPD sebagai angkutan masyarakat perkotaan (khususnya bis ekonomi) sedapat mungkin terjangkau oleh lapisan menengah ke bawah serta para mahasiswa dan pelajar. Pemerintah mengkuatirkan apabila kenaikan tarif tidak diberlakukan seperti di atas akan menimbulkan gejolak sosial yang berdampak buruk kepada kestabilan politik di Jakarta. Permasalahan dengan penumpang PPD dari kalangan menengah ke bawah dan penumpang dari kalangan mahasiswa dan pelajar memang tidak melahirkan gejolak sosial yang berarti, akan tetapi akibat kebijakan tersebut karyawan PPD harus menanggung keterlambatan pembayaran penghasilan mereka dan menejemen mendapat tuntutan dan demonstrasi dari karyawannya. Bis kota PPD pun semakin terseok menanti onderdil bis mana lagi yang akan diambil untuk melakukan perawatan armada.
Sebenarnya jumlah penumpang yang menggunakan bis kota perhari di Jakarta mengalami peningkatan rata-rata 0,1 % pertahun (tinjauan dari tahun 1996-1999) akan tetapi kenaikan ini tidak dapat menyegarkan perusahaan karena turunnya prosentase pangsa pasar PPD akibat semakin berkurangnya jumlah bis PPD. Gambaran perjalanan, jumlah penumpang, dan pangsa pasar PPD tesebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
JUMLAH PERJALANAN PENDUDUK JAKARTA,
JUMLAH PENDUDUK PENGGUNA BIS KOTA,
DAN PROSENTASE PANGSA PASAR
Kondisi tahun 1996-1999
No
Tahun
Perjalanan perhari penduduk jakarta
(juta orang)
Jumlah penumpang
bis kota
(juta org)
Pangsa
pasar
perhari (%)
1
1996
14,8
2,7
10,5
2
1997
15,10
2,8
9,8
3
1998
15,40
2,9
7,4
4
1999
15,70
2,9
6,6
Sumber : Profil Perusahaan, 2003
Kondisi pangsa pasar semakin menunjukkan penurunan drastis pada 2 tahun berikutnya yaitu tahun 2000 turun menjadi 4,86 % dan pada tahun 2001 hanya mencapai 4,26 % pertahun. Kondisi di atas semakin membuat Perum PPD tidak produktif sebab armada PPD tidak mampu mengangkut lonjakan penumpang akibat jumlah bis semakin menyusut, sedangkan susutnya jumlah armada disebabkan ketidakmampuan perusahaan melakukan perawatan sebagaimana mestinya akibat tingginya biaya onderdil atau suku cadang bis kota. Hal ini berbeda dengan kondisi antara tahun 1985 sampai 1991, dimana setiap tahun Perum PPD selalu menerima tambahan bis baru dari pemerintah. Tahun 1993 kembali menerima bantuan sebanyak 145 unit, tahun 1997 sebanyak 90 unit. Yang menarik adalah PPD sempat mengusahakan sendiri pengadaan armada bisnya yaitu pada tahun 1996 sebanyak 100 unit yang diperoleh dari hasil penjualan sebagian aset perusahaan. Tahun 1992,1994,1995, 1998, dan 1999 Perum PPD tidak menerima bis bantuan dari pemerintah.
Menghadapi kemelut tersebut, pada tahun 2003 pihak perusahaan mencoba melakukan antisipasi dengan membentuk armada bis wisata dengan jumlah bis 21 unit kelas Patas AC dan Patas Non AC/reguler, dengan tujuan perjalanan dari Jakarta ke berbagai daerah, dari Aceh sampai ke Lombok di Nusa Tenggara Barat. Bis wisata ini tidak melayani penumpang harian (seperti bis-bis PPD lainnya yang beroperasi di dalam dan sekitar kota Jakarta) melainkan memberlakukan sistem sewa angkutan penumpang dengan tujuan wisata.
Perihal trayek atau jurusan dan jalur yang dilalui bis PPD, pada awalnya masih di seputar kota Jakarta sesuai dengan namanya Pengangkutan Penumpang Djakarta. Namun kemudian terjadi perkembangan trayek sehingga Perum PPD kemudian dioperasikan lebih luas mencakup wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Ada 2 hal yang menjadi pertimbangan diperluasnya wilayah operasi armada PPD. Pertama dari segi bisnis, pemerintah mencoba mendapatkan tambahan keuntungan dari beroperasinya bis PPD dengan cara membuka depo-depo baru di luar wilayah Jakarta. Hal ini dilakukan mengingat bahwa sepanjang beroperasinya armada PPD terutama sejak tidak adanya lagi bantuan armada dari pemerintah (sejak tahun 1994), ditambah jumlah tarif yang harus ditekan menyebabkan keuntungan perusahaan tidak seimbang dengan pengeluaran yang meliputi biaya perbaikan dan biaya belanja pegawai. Bukti yang paling nyata dari hal ini adalah klimaksnya ketidakseimbangan tersebut sehingga membuat karyawan Perum PPD berdemo menuntut pembayaran gaji mereka antara bulan Februari hingga Mei 2003.
Kedua tuntutan pasar, Perum PPD membuka depo baru adalah sebagai hasil pertimbangan perusahaan atas permintaan masyarakat calon pemakai angkutan kota ini. Safrudin Dahlan mengemukakan, PPD akan membuka depo baru jika permintaan masyarakat tersebut dianggap memenuhi syarat. Syarat yang utama adalah tersedianya areal yang dapat menjadi depo bis minimal semacam terminal sementara sambil melihat perkembangan yang akhirnya PPD mampu membeli areal untuk dijadikan depo. Syarat lainnya adalah permintaan dari masyarakat tersebut bukan berasal dari orang perorang atau suatu kelompok. Pihak PPD kemudian melakukan survei melalui sebuah tim yang disebut Survei Lintas, selanjutnya Perum PPD mengajukan usulan trayek ke Dinas Perhubungan. Jika prospek keuntungan perusahaan dapat terpenuhi (perhitungannya diperoleh dengan memperbandingka antara jumlah armada dengan jumlah penumpang), maka pihak PPD kemudian melakukan uji coba trayek.
Contoh hal ini seperti dikemukaan oleh Safrudin Dahlan adalah ketika pihak pengelola Prumnas di Depok meminta Perum PPD menyediakan armada yang melayani penghuni Perumnas dengan rute Depok-Jakarta, pihak Perumnas menyediakan lahan untuk Depo PPD. Hal yang sama juga terjadi di Bumi Serpong Damai di Serpong Tangerang. Jika seluruh persyaratan sudah terpenuhi, maka dioperasikanlah armada PPD menggunakan bis yang berstatus SG (Siap Guna) dan SGO (Siap guna Operasi). Kedua jenis armada ini selalu tersedia di bengkel perusahaan sebagai armada cadangan dan tentu saja sebagai bahan pengganti onderdil.
Apabila merujuk pada Peraturan Daerah DKI Jakarta tahun 2002 Bappeda khususnya pasal 19 Tentang Pengembangan Angkutan Jalan, maka ketentuan yang berlaku bagi armada PPD yang terdiri dari bus/bis besar adalah beroperasinya pada jalan arteri. Adapun isi pasal 19 adalah:
1. Penataan Pelayanan Angkutan Umum
a. Angkutan bus besar hanya pada jalan arteri (ps. 19:5)
b. Angkutan bus sedang hanya pada jalan kolektor (ps. 19:5)
c. Angkutan mikrolet hanya pada jalan lokal (ps. 19:5) (http://www.bappedajak.go.id/)
Dengan ketentuan tersebut bis-bis PPD hanya diperkenankan melintasi 10,8 % panjang jalan dari keseluruhan jalan yang ada di Kota Jakarta. DKI Jakarta memiliki panjang jalan keseluruhan 6.528.481 M (<65.000 style=""> Jalan arteri ini termasuk di dalamnya jalan tol yang ada di Kota Jakarta.
Sampai dengan tahun 2003, hanya ada 48 lintasan/trayek bis PPD yang menyebar ke berbagai jurusan. Ke-48 lintasan/trayek tersebut dilayani oleh 3 jenis bis yaitu bis reguler 12 lintasan, patas 18 lintasan, dan patas AC 18 lintasan. Ke-48 lintasan tersebut belum melayani keseluruhan wilayah Jabotabek. Selengkapnya tentang lintasan/trayek bis PPD seperti terlihat pada ke 3 tabel berikut :
Tabel 5
TRAYEK PERUM PPD,
Jenis Bis Reguler
No
Lintas/trayek
Jurusan
1
10
Blok M – Pasar Senen
2
41A
Kp. Rambutan – Pasar Baru
3
43
Kp. Rambutan – Tanjung Priok
4
45
Kp. Rambutan – Blok M
5
46
Kp. Rambutan – Grogol
6
52
Pulogadung – Pasar Baru
7
58
Pulogadung – Pasar Baru
8
60
Tanjung Priok – Pasar Senen
9
210
Grogol – Rawamangun
10
213
Grogol – Kp. Melayu
11
900A
Kp. Rambutan – Gambir
12
916
Kp. Melayu – Tanah Abang
Sumber : Perum PPD, 2003. Data diolah
Tabel 6
TRAYEK PERUM PPD,
Jenis Bis Patas
No
Lintas/trayek
Jurusan
1
P-1
Blok M – Kota
2
P-2
Kp. Rambutan – Kota
3
P-11
Kp. Rambutan – Kota
4
P-21
Blok M – Ciputat
5
P-24
Grogol – Cimone
6
P-25
Senen – Cimone
7
P-36
Pulogadung – Blok M
8
P-37
Blok M – Muara Karang
9
P-41
Kp. Rambutan – Kota
10
P-42
Blok M – Pasar Senen
11
P-43
Banteng Utara – Depok
12
P-44
Kemayoran –Babakan/Tangerang
13
P-45
Blok M – Cimone
14
P-46
Pulogadung – Muara Karang
15
P-52
Pulogadung – Depok
16
P-54
Grogol – Terminal Depok
17
P-67
Blok M – DR. Wahidin
18
P-68
Pulogadung - Blok M
Sumber : Perum PPD, 2003. Data diolah
Tabel 7
TRAYEK PERUM PPD,
Jenis Bis Patas AC
No
Lintas/trayek
Tujuan
1
AC-01
Lebak Bulus – Kota
2
AC-B1
Blok M – Kota
3
AC-B2
Grogol – Pasar Baru
4
AC-08
Pulogadung – Blok M
5
AC-10
Kp. Rambutan – Kota
6
AC-11
Pulogadung – grogol
7
AC-12
Pulogadung – Lebak Bulus
8
AC-15
Depok – Kota
9
AC-16
Rawamangun – Lebak Bulus
10
AC-17
Depok – Kota
11
AC-18
Pulogadung – Depok Timur
12
AC-21
Blok M – Bumi Serpong Damai
13
AC-77
Kalideres – Tanjung Priok
14
AC-79
Kp. Rambutan – Kota
15
AC-80
Kp. Rambutan – Blok M
16
NE-1
Pinang Ranti – Kota
17
NE-2
Rawamangun – Grogol
18
NE-3
Pulogadung – Lebak Bulus
Sumber : Perum PPD, 2003. Data diolah
Sedangkan lintasan/trayek yang belum dilalui sebanyak 64 lintasan dengan perincian 51 bis reguler, 11 patas, dan 3 patas AC. Diantara lintasan yang belum dilayani adalah Lebak Bulus – Jl. Perwira, Kp. Rambutan – Pintu Air, Kp. Rambutan – Manggarai, Ragunan – Gambir, Kalideres – Pelud Sutta, Taman Mini –Grogol, Grogol – Jl. Mauk, dan sebagainya.
Kemelut dalam Tubuh PPD
Menganalisis kondisi di dalam tubuh PPD dengan melakukan kilas balik ke masa Pemerintahan Hindia Belanda terutama pada tahun 1920-an. Apa yang terjadi pada Bis PPD tampaknya sama dengan kejadian di tahun 1925 saat terjadinya penggabungan 2 perusahaan yaitu NITM dengan BETM (lihat bagian awal bab ini) membentuk BVMNV. Asumsi yang dapat diambil adalah penggabungan tersebut diakibatkan oleh terjadinya perbedaan signifikan antara jumlah penghasilan dari pengoperasian tram dengan jumlah SDM yang menyebabkan perusahaan menjadi kurang produktif. Hal yang sama terjadi ketika pada tahun 1985 pemerintah RI melakukan penggabungan 7 unit usaha angkutan swasta kepada Perum PPD dengan alasan “tambahan penyertaan modal pemerintah” sesuai PP No. 39 tahun 1986. Akan tetapi kenyataannya sampai sekarang (2003) Perum PPD adalah perusahaan kurang produktif dengan melihat perbandingan armada dengan SDM.
Maraknya demonstrasi karyawan PPD akibat gaji yang tidak lancar terbayar pada bulan Agustus hingga Oktober 2003, bahkan pada bulan Februari hingga Mei 2003 karyawan PPD sama sekali tidak menerima gaji (http://www.kompas.co.id/%20Metro/news/%200310/21/083421.htm) memper-lihatkan bahwa Perum PPD adalah perusahaan tidak sehat.
Perum PPD yang dikelola oleh pemerintah pusat di bawah Departemen Perhubungan membutuhkan dana sebesar Rp. 250 miliar yang akan digunakan untuk membayar gaji karyawan dan merestrukturisasi PPD (http://www.kompas.co.id)/, namun pemerintah tidak mempunyai dana sebesar itu. Pemerintah kemudian melakukan nota kesepahaman dengan pihak Jamsostek yang akhirnya mengeluarkan dana sebesar Rp. 20,3 miliar untuk pembayaran gaji karyawan PPD selama 4 bulan (Februari-Mei 2003).
Hal yang menarik adalah ketika kemelut di dalam tubuh PPD belum terselesaikan, pemerintah melalui Deputi Bidang Politik dan Pariwisata Kementrian Negara BUMN Ferdinan Nainggolan mencoba mendekati Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk mengambil alih PPD seperti di daerah lainnya yaitu angkutan kota ditangani oleh pemda setempat, Sutiyoso menolak dengan alasan tidak mau terbebani masalah yang sedang dialami PPD. Pemda DKI Jakarta bersedia menerima PPD dengan syarat masalah utang-utang PPD sudah selesai dan yang utama terjadinya perbandingan normal antara jumlah armada dengan SDM yaitu 1 armada berbanding paling tidak 5 SDM (Ibid).
Bus Way
Tulisan di sub bab ini adalah catatan tambahan yang memperlihatkan sikap pemda DKI Jakarta terhadap kemelut di dalam tubuh PPD, yaitu hadirnya Trans Jakarta sebagai sarana transportasi di DKI Jakarta yang secara langsung merupakan saingan PPD. Meskipun pemberlakuan secara resmi operasi bis Trans Jakarta berlangsung pada 15 Januari 2004, namun perencaanaan termasuk pembuatan jalur khusus sepanjang rute bis (Busway) ini telah dimulai pada tahun 2003. Oleh karena itu walaupun secara spasial batasan waktu penelitian ini hanya sampai pada tahun 2003, namun karena terdapat keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan PPD, maka bus Trans Jakarta yang populer disebut sebagai Busway (yang sebenarnya adalah nama lain dari jalur khusus bus ini) penulis masukkan sebagai bagian dari pelaporan ini, meskipun sebagai catatan tambahan.
Sebuah pembahasan mengenai kondisi transportasi pernah ditulis oleh Jachrizal Sumabrata-Dosen Fakultas Teknik UI Depok yang mengungkapkan bahwa masalah transportasi di Jakarta merupakan pembahasan yang tak pernah selesai. Lingkaran permasalahan di seputar transportasi dimulai dari persoalan kawasan pembatasan penumpang alias three in one, stikerisasi, kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif parkir yang seenaknya dan jalan tol, rencana pembangunan subway Blok M-Kota, kenaikan tarif angkutan umum sampai tuntutan masyarakat pada kinerja angkutan umum, dimana ujungnya adalah berpangkal pada soal bagaimana mengurangi kemacetan jalan dan keruwetan transportasi (Kompas, Rabu, 3 Mei 2000). Lingkaran itu semakin membesar manakala permasalahan di tubuh Perum PPD juga di tambahkan sebagai bagian dari permasalahan transportasi.
Analisa lain Jachrizal Sumabrata adalah anggaran pembangunan jalan di Jakarta sudah terbatas, sehingga kemacetan lalu lintas akan semakin buruk, terutama mobilitas dari luar Jakarta. Pengembangan pinggiran Jakarta atau Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) di sekitar jalan tol dan jalan arteri, ternyata membebani Jakarta. Hal itu terbukti dengan semakin panjangnya antrean kendaraan yang keluar masuk pada sore dan pagi hari. Di lain pihak, pembangunan outer ring road telah menarik beberapa kantor dari pusat Jakarta. Jika hal tersebut terjadi maka kawasan pusat bisnis (Central Business District/CBD) yang merupakan daya tarik pergerakan ke pusat kota akan semakin berkurang. PAUL Mees (1995) berpendapat, kebijakan transportasi bukan sekadar masalah pemindahan barang dan manusia. Transportasi sangat berpengaruh dalam pembentukan kota. Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai akses bagi semua penduduk karena masih banyak orang tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun, pembangunan yang dilakukan untuk memperlancar mobilitas, cuma pelebaran jalan, komputerisasi lampu lalu lintas, sampai jembatan layang (fly over) maupun under pass. Kepolisian Daerah (Polda Metro) Jaya mencatat jumlah kendaraan bermotor di Jakarta ada 3.842.661 buah (1997). Sedangkan jumlah penduduk yang tidak mempunyai kendaraan bermotor diperkirakan masih 3.869.910 orang. Mereka itu public transport captives yang dirugikan dengan perencanan kota yang berorientasi pada kendaraan bermotor (pribadi), sehingga sering kali perencanaan jaringan angkutan umum tidak diprioritaskan. Padahal hak masyarakat termasuk penumpang kendaraan umum dan pejalan kaki, harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus berupaya menarik pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke angkutan umum. Meski hal itu tidak mudah, ada baiknya mencoba mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap angkutan umum, sebagai tulang punggung sistem transportasi Kota Jakarta (Ibid).
Saat ini, di mana perekonomian masyarakat berada pada titik terendah, rasanya perlu dikaji kembali keberpihakan perencana. Kini saatnya memikirkan peningkatan perekonomian masyarakat. Salah satunya dengan dengan memberikan angkutan umum yang layak dan andal, yang pada akhirnya dapat memperbesar effisiensi ekonomi dan sosial equity, serta bersahabat pada lingkungan. Harapan masyarakat Jakarta tidaklah terlalu berlebihan, mereka tidak mengharapkan subway megah seperti di luar negeri. Masyarakat hanya menginginkan angkutan umum yang dapat diandalkan, tidak diturunkan di tengah jalan, dan keamanan, keselamatan yang terjamin (Ibid).
Pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 membuka kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta untuk menentukan sistem transportasi kota, demi meningkatkan mobilitas, seraya mendorong penggunaan angkutan umum dan menganjurkan pengurangan pemakaian kendaraan pribadi (Ibid).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian menanggapi UU tersebut dengan melakukan studi banding ke Nigeria dan hasilnya adalah terealisasinya rencana pembangunan jalur khusus bus (busway) yang diperuntukkan bagi beroperasinya bis khusus yang nantinya disebut “Transjakarta”. Apa yang dilakukan oleh Sutioso satu sisi memperlihatkan kepeduliannya kepada kondisi transportasi darat kota Jakarta atau dalam skala lebih besar sebagai solusi mengurangi kemacetan. Tetapi satu sisi langkah yang ditempuh oleh gubernur Jakarta ini ternyata secara langsung memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap kondisi PPD yang telah berjasa mengantar warga Jakarta dan sekitarnya menyusuri jalan-jalan Jakarta. Bahkan ketika Tarnsjakarta diuji coba, maka bukan hanya PPD yang mengalami pengalihan rute melainkan seluruh armada bis kota yang melalui jalur ini ikut tergusur, disebabkan bis milik pemda Jakarta mendapat perlakuan khusus dan berkuasa pada jalur tertentu yaitu Blok M-Kota. Sehingga praktis armada perusahaan lainnya yang sebelumnya melintasi rute tersebut (Blok M-Kota) harus merubah rutenya. Padahal jalur Blok M-Kota termasuk jalur padat penumpang. Adapun jalur Blok M – Kota tersebut melalui tempat dan daerah sebagai berikut; dari Blok M melewati Masjid Agung, Ratu Plaza, Gelora Soekarno Hatta (Senayan), Bendungan Hilir, Setiabudi, Bunderan HI, Sarinah, Sawah Besar, Mercure, Kota. Dari Kota melewati Raja Mas, Mangga Besar, Harmoni, Monas, Bank Indonesia, Bunderan HI, Tosati,Dukuh Atas, Karet, Polda Metrojaya dan Blok M (Dnoe, 2004).
Mungkin ada baiknya jika Pemda DKI Jakarta mengambil alih Perum PPD, sehingga pemerintah pusat (Kementerian BUMN) tidak lagi mempunyai perusahaan transportasi, melainkan hanya berfungsi pada pembinaan perusahaan negara saja. Dengan demikian Pemda DKI Jakarta (dinas perhubungan) tidak perlu membuat perusahaan baru tetapi mengoptimalkan Perum PPD dengan menambah armada.
Dampak lain yang juga berakibat langsung beroperasinya Transjakarta adalah dilakukannya pembatasan jumlah kendaraan pribadi yang bergerak di jalur busway dan Jakarta pada umumnya. Di jalur bis kota Transjakarta akan diterapkan sistem three in one, sedangkan di wilayah Jakarta secara umum akan diterapkan sistem pembatasan nomor kendaraan. Selain itu, pedagang kaki lima (PKL) yang terdapat di jalur busway dan empat jalur alternatif lainnya akan digusur (Ibid). Pola pembangunan transportasi yang dilakukan oleh Sutioso masih berorientasi kepada kemauan pemerintah (baca= kekuasaan), belum menyentuh kepada studi banding terhadap dampak pembangunan tersebut. Artinya pemda DKI Jakarta belum memperhitungkan sistem keseimbangan program. Alasan yang sering dikemukakan Sutioso adalah bahwa setiap kebijakan pasti menuntut pengorbanan. Alasan yang sama juga diberlakukannya ketika ia menggusur rumah penduduk Jakarta, meski telah ditempati puluhan tahun dan semuanya adalah untuk kemegahan Jakarta.
P E N U T U P
Sejak dibentuknya hingga sekarang (1954-2003) berarti telah 49 tahun yang dilaluinya. Selama 49 tahun tersebut pasang surut sebagai sebuah perusahaan transportasi dilaminya, dan berdasarkan data yang diperoleh tampaknya masa keemasan PPD berlangsung antara tahun 1985-1991 (selama 7 tahun). Data yang diperoleh dari buku “Profil Prusahaan” (2003) pada masa tersebut pemerintah memberikan bantuan armada setiap tahunnya. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan tersebut tersendat hingga akhirnya berdampak pada kondisi perusahaan yang kurang produktif. Tahun 1996 sebuah antisiupasi dilakukan oleh Perum PPD untuk menyegarkan perusahaan yang semakin lesu yaitu mengadakan sendiri tambahan armadanya sebanyak 100 buah, namun armada ini diperoleh melalui penjualan sebagian aset perusahaan. Jika demikian berarti hidup matinya PPD bergantung pada ada tidaknya armada baru. Lantas apabila pemerintah tidak memberikan bantuan penambahan armada, aset mana lagi yang akan dijual Perum PPD untuk mengadakan armada baru. Ini patut menjadi perhatian serius Departemen Perhubungan sebagai pengelola PPD,
Dari sekian banyak permasalahan di kota besar seperti megapolitan Jakarta, PPD menjadi permasalahan tersendiri, sebab sekalipun secara institusi PPD berada di bawah pemerintah pusat (Kementerian BUMN), namun gerak operasional armadanya (termasuk demo karyawannya) semuanya berada di Jakarta. Sehingga praktis getaran kemelut PPD berdampak langsung kepada Jakarta, terutama masyarakat pengguna transportasi ini yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
Akhirnya setelah melalui pembahasan di bab sebelumnya, maka jawaban atas permasalahan seperti yang diurai pada bab 1 adalah sebagai berikut :
1. Diperlukannya bis kota sebagai sarana angkutan darat dalam kota adalah dalam rangka memperlancar arus mobilisasi massa/penumpang yang terus bergerak sepanjang hari. Ini sesuai dengan misi pemerintah yang diberikan kepada PPD yaitu PPD harus berperan sebagai stabilisator dan dinamisator angkutan umum di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
2. Penggunaan nama PPD (pengangkutan Penumpang Djakarta, adalah merujuk pada kondisi awal atau cikal bakal atau kalau boleh disebut nenek moyang PPD yaitu BVMNV (BataviascheVerkeers Maatchappij) sebagai suatu perusahaan angkutan darat (trem) yang dioperasikan dalam kota Batavia. Oleh karena itu sesuai dengan namanya maka PPD awalnya diperuntukkan bagi calon penumpang yang berdomisili di kota Jakarta. Namun karena perkembangan jaman yang dilatarbelakangi oleh permintaan konsumen, akhirnya PPD juga melayani wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
3. Bis/bus PPD mulai beroperasi setelah dikeluarkannya akte notaris Mr. Raden Suwandi No. 76 tanggal 30 Juni 1954 dan No. 82 tanggal 21 Desember 1954 yang merubah BVMNV menjadi PT. PPD yang dilatarbelakangi oelh keluarnya UU Darurat No. 10 tahun 1954 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan eks Hindia Belanda. Awalnya setelah menjadi PPD, perusahaan ini masih mengelola trem kota serta beberapa bis, kemudian setelah pemerintah memperoleh bantuan bis berbahan bakar disel yang disebut Leyland pada tahun 1956, maka Presiden Soekarno menghapuskan beroperasinya trem. Sejak saat itu pula PT. PPD mengfokuskan pelayannya dibidang akutan Bis/bus kota.
4. Rute-rute yang dilalui oleh armada Bis PPD adalah jalan arteri baik yang berstatus arteri primer maupun arteri sekunder termasuk jalan tol. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan oleh Perda DKI Jakarta tahun 2002 tentang Pengembangan Angkutan Jalan khususnya pasal 19 ayat 5.
5. Perum PPD yang berada di bawah binaan Kementerian BUMN (sebelumnya, sejak dibentuk tahun 1954 di bawah binaan Dephub) dalam hal pengadaan sarana berupa armada biasanya memperoleh bantuan dari pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh (lihat bab 3 hal 47) bantuan armada bis dari pemerintah berlangsung dari tahun 1985 ( digabungkannya 7 perusahaan angkutan swasta) sampai tahun1991 kemudian tahun 1993 dan tahun 1997. Jumlah Bantuan ini berfariasi mulai dari 90 unit (1997) hingga 412 unit (1987). Perum PPD pernah mengusahakan sendiri tambahan armadanya melalui penjualan aset, ini terjadi pada tahun 1996 dimana PPD mampu menyediakan bis baru sebanyak 100 unit.
Adapun pola perekrutan pegawai seperti yang dikemukakan oleh Safrudin Dahlan bahwa awalnya pegawai PPD berasal dari Djakarta Shiden, kemudian bertambah dengan terjadinya penggabungan (1985), dan melalui proses penerimaan pegawai yang lazim dilaksanakan yaitu tahapan seleksi.
6. Di wilayah operasi armada PPD (Jakarta dan sekitarnya) selain PPD juga beroperasi armada dari perusahaan lain seperti perusahaan yang mengusung nama Metromini, Kopaja, Mayasaribakti, Kopami Jaya, Aja, Aja Putra, Steady Safe, Himpurna, Bianglala, Kuantas Bima, Tunggal Dara, Arion, Andalan Karona, Senawangi (RMB), dan Jasa Utama. Perusahaan angkutan ini beroperasi di jalan-jalan arteri yang dimulai dan diakhiri di terminal-terminal seperti Blok M, Kampung Rambutan, Pulogadung, Lebak Bulus, Kalideres, Kampung Melayu, Pasar Minggu, Pinang Ranti, Pondok Kopi, Prum Klender, Grogol, Tanjung Priok, Ciputat, Senen, Rawamangun, Tanah Abang, Transit Kota (Kota), Muara Karang, Manggarai, dan Cililitan. Dalam hal persaingan bisnis tampaknya ukuran berhasil terlihat dari banyaknya jumlah armada dan bukan dari banyaknya penumpang. Sebab setiap hari mereka melalui rute yang sama dan terhadap penumpang dikenakan jumlah tarif yang sama bergantung pada jenis bis (lihat hal 45). Tarif bis ini ditentukan oleh Departeman Perhubungan dengan memperhatikan kondisi pangsa pasar. Oleh karena itu persaingan antara sesama perusahaan angkutan tidak begitu signifikan, bahkan tidak jarang 2 atau 3 bis kota dari berbagai perusahaan bisa bertemu pada satu halte tetapi mereka tidak saling berebut penumpang. Kondisi Jakarta yang demikian sibuk menyebabkan timbul istilah “bukan bis kota yang mencari penumpang, tetapi penumpang yang menunggu bis kota”.
7. Kendala yang dihadapi oleh Perum PPD sama halnya dengan kendala yang dihadapi oleh perusahaan angkutan lainnya yaitu kekurangan jumlah armada, dan mahalnya biaya perawatan. PPD sebagai perusahaan angkutan milik pemerintah kebutuhan armadanya sering mendapat bantuan dari pemerintah, sedangkan masalah onderdil untuk pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan bis yang rusak dan membutuhkan komponen suku cadang dilakukan dengan cara menukar onderdil antara bis yang satu dengan yang lainnya. Pola penukaran seperti ini bukan masalah baru melainkan merupakan antisipasi disebabkan ketidakmampuan perusahaan untuk menyediakan oderdil yang sangat dibutuhkan tersebut. Tidak jarang terlihat di bengkel-bengkel perusahaan ada bis yang tidak dapat beroperasi akibat komponen onderdilnya digunakan oleh bis yang lain atau tidak beroperasi sebab perusahaan tidak mampu menyediakan bahan tersebut.
Demikianlah Perum PPD yang mempunyai misi “Melaksanakan pelayanan angkutan kota DKI Jakarta dan sekitarnya dengan memperhatikan pelayanan bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan menuju kemandirian”, serta visi “Menjadi Perusahaan yang sehat dan mandiri” setiap hari mengarungi wilayah DKI Jakarta memobilisasi penumpang meski dengan segudang permasalahan yang sedang menimpa. Meskipun dalam keseharian armada PPD miring ke kiri, tetapi calon penumpang tetap mengejarnya. Tarik! Bis kota melaju meninggalkan asap knalpot yang menyesakkan dada seperti sesaknya dada melihat perjuangan para karyawan PPD dalam menggapai kesejahteraannya. Ironisnya, belum lagi permasalahan dalam tubuh Perum PPD terselesaikan, muncul saingan bisnis baru yaitu armada perusahaan angkutan kota DKI Jakarta yang mengusung nama Transjakarta. Pesaing baru ini dalam pengoperasian nantinya akan mengambil alih jalur Blok M – Kota, sebuah jalur sibuk dan padat penumpang. Tetapi karena Transjakarta adalah milik Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan dalam rangka semangat otonomi daerah, perusahaan sejenis pindah ke jalur lain. Brrrrmmmm….
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Dnoe. Trans Jakarta. Busway, 2004.
Informasi Transportasi DKI Jakarta, edisi 2. Jakart.
Republik Indonesia, 1989.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI), Jakarta.
Gottschalk, Louis. 1986.
Understanding History: A Primer of Historical Method. Terj. Nugroho Notosusanto, “Mengerti Sejarah”.Cet.V.Jakarta:UI-Press.
Perum PPD. 2002.
“Profil Perusahaan”. Jakarta:PPD.
Saidi, H. Ridwan. 2002.
Babad Tanah Betawi. Jakarta: PT. Gria Media Prima.
Shahab, Alwi. 2002.
Robin Hood Betawi.Cet. II. Jakarta : Republik.
B. BROSUR
Perum PPD.”Misi dan Visi Perusahaan”. Jakarta : PPD,2003
Perum PPD.”Tarif Sewa Bus”. Jakarta : PPD, 2003.
C. INTERNET
http://www.bps.co.id
http://www.dki.go.id/
http://www.pu.go.id/
http://www.kompas.co.id/
http://www.bappedajak.co.id/
D. INFORMAN KUNCI
Nama : Drs. Syafrudin Dahlan
Alamat : Jl. Karet Psr. Baru Timur No. 47 Jakarta Pusat
Pekerjaan : Ka. Divisi Hukum, Humas dan Ortala Perum PPD
Alamat Kantor : Jl. Raya Halim Perdana Kusuma No. 1
Tulisan ini adalah penggalan dari tulisan yang berjudul sama dan telah diterbitkan dalam bentuk Jurnal Penelitian oleh BKSNT Bandung tahun 2003.
sumber : http://passompe-w171a.blogspot.com/2009/08/bis-kota-ppd-pengangkutan-penumpang_25.html